Monday, February 14, 2005

Agar SPT Tahunan Kita Tidak “Ditolak” (Lagi?) oleh KPP

Agar SPT Tahunan Kita Tidak “Ditolak” (Lagi?)

TRIYANI BUDIANTO



Pendahuluan

INGAT !!! BATAS AKHIR PELUNASAN PPh PASAL 29
SELAMBAT-LAMBATNYA 25 MARET 2005

INGAT !!! BATAS AKHIR PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN, 31 MARET 2005

ANDA BELUM TERIMA SPT TAHUNAN ???
HUBUNGI KANTOR PELAYANAN PAJAK/KANTOR
PENYULUHAN PAJAK SETEMPAT

Jika Anda belum memiliki NPWP segera hubungi Kantor Pelayanan Pajak
setempat.



Tentu kita tidak asing lagi dengan kalimat himbauan tersebut. Yaa..!!
Karena saat ini dengan mudah kita jumpai spanduk sosialisasi dan penyuluhan
pajak dari Dirjen Pajak terpampang diberbagai tempat.



Batas waktu penyampaian SPT Tahunan tahun 2004 tinggal beberapa hari lagi.
Dan saat ini hampir semua Wajib Pajak sedang sibuk dengan “hajatan” akhir
tahunnya. Barangkali sebagian Wajib Pajak sudah mengetahui berapa pajak
terutang untuk tahun 2004 serta berapa pajak yang masih harus dibayar pada
bulan Maret ini dan saat ini telah mempersiapkan untuk menyusun SPT
Tahunannya. Namun sebagian lainnya masih menunggu proses audit laporan
keuangan diselesaikan. Bahkan mungkin masih ada Wajib Pajak yang belum
selesai menyusun laporan keuangan karena berbagai sebab, sehingga saat ini
telah bersiap-siap untuk mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan ke kantor pajak. J.



Meskipun materi yang dilaporkan dalam SPT Tahunan telah disusun dengan baik
dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, namun hal itu
tidak menutup kemungkinan dengan adanya “penolakan” SPT Tahunan pada saat
disampaikan ke KPP. Menanggapi penolakan SPT tersebut, Wajib Pajak
seringkali beranggapan bahwa petugas/fiscus “mengada-ngada” atau “sengaja
mempersulit Wajib Pajak” yang akan memenuhi kewajibannya. Pendapat tersebut
tentu tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah J.



Penolakan SPT disebabkan oleh berbagai hal. Antara lain karena adanya
kesalahan tulis atau kesalahan hitung sehingga menyebabkan Angka-angka yang
tertera dalam lampiran SPT dengan yang tertera dalam Induk SPT tidak
sinkron, maupun karena adanya kekurangan dalam lampiran SPT Tahunan. Tidak
jarang penolakan tersebut disebabkan oleh “hal-hal kecil” yang seringkali
luput dari perhatian Wajib Pajak. Namun tidak sedikit pula penolakan SPT
yang disebabkan adanya dokumen atau lampiran lain yang diminta oleh petugas,
meskipun lampiran tersebut “tidak diharuskan” menurut ketentuan perpajakan
yang berlaku.



Dalam tulisan ini, penulis merangkum tentang beberapa dokumen yang harus
dilampirkan dalam SPT Tahunan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku
saat ini dan beberapa hal yang menyebabkan SPT Tahunan ditolak atau
dikategorikan sebagai SPT Tidak Lengkap pada saat penyampaian SPT Tahunan
tahun 2003. Tulisan ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan kita mengenai
“kendala” penyampaian SPT yang terjadi tahun sebelumnya dengan harapan
hal-hal tersebut tidak terulang kembali di tahun ini.



Dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan.

Dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan diatur melalui
Keputusan Dirjen Pajak No KEP-214/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001.



a. SPT PPh Badan (SPT 1771).

Berdasarkan ketentuan pasal 2 KEP-214/PJ./2001, Keterangan dan atau dokumen
lain yang harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan adalah:

1. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari
Wajib Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi konsolidasi
grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal.

2. Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal.

3. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian
tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.

4. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam
hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk
mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.

5. Surat Kuasa Khusus, dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.

6. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan
penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25.

7. Surat Pemberitahuan tahunan harus dilengkapi dan atau dilampiri juga
dengan keterangan dan atau dokumen tertentu lain, yang diperlukan atau
disebutkan dalam Surat Pemberitahuan atau petunjuk pengisiannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan KEP-141/PJ./2004 tentang SPT tahunan tahun 2004 serta buku
petunjuk pengisiannya, Formulir SPT 1771 ditetapkan sbb :

1. Induk SPT, Formulir 1771

2. Lampiran 1771-I, 1771-II, 1771-III, 1771-IV dan 1771-V

3. Lampiran Khusus :

- Daftar Penyusutan Dan Amortisasi Fiskal – Lampiran Khusus 1A

- Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal - Lampiran Khusus 2A

- Pernyataan Transaksi Hubungan Istimewa – Lampiran Khusus 3A

- Daftar Fasilitas Penanaman Modal – Lampiran Khusus 4A

- Daftar Cabang Utama Perusahaan – Lampiran Khusus 5A

- SSP Lembar ke-3 PPh Pasal 26 ayat (4) (khusus BUT)

- Perhitungan PPh PASAL 26 AYAT (4) (Khusus BUT) - Lampiran Khusus
6A

- Kredit Pajak Luar Negeri - Lampiran Khusus 7A

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721).

Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah:

1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam
hal terdapat kekurangan pajak yang terutang.

2. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan tahunan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari
Instansi yang berwenang dalam hal Wajib Pajak orang pribadi telah meninggal
dunia dan Surat Pemberitahuan tahunan ditandatangani oleh Ahli Waris.

3. Laporan Keuangan atas kegiatan kerjasama operasi bagi Wajib Pajak
Kerjasama Operasi (Joint Operation).

4. Surat Pemberitahuan tahunan harus dilengkapi dan atau dilampiri juga
dengan keterangan dan atau dokumen tertentu lain, yang diperlukan atau
disebutkan dalam Surat Pemberitahuan atau petunjuk pengisiannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

Berdasarkan KEP-141/PJ./2004 tentang SPT tahunan tahun 2004 serta buku
petunjuk pengisiannya, Formulir SPT Tahunan PPh 21 ditetapkan sebagai
berkut:

1. Induk SPT – Formulir 1721

2. Lampiran SPT – Formulir 1721-A, 1721-A1 atau 1721-A2, 1721-B dan
1721 C

3. Lampiran lain yang tertera dalam point C, Lampiran SPT 1721
ditetapkan sbb :

- SSP Lembar ke-3 PPh Pasal 29

- Daftar Pegawai idak Tetap yang PPh-nya ditanggung Pemerintah.

- Surat Kuasa Khusus

- Pemberitahuan Pembetulan Nama dan atau Alamat

- Daftar Biaya untuk Wajib Pajak yang tidak wajib memasukkan SPT
Tahunan Pph Badan.

- Laporan Keuangan Kerjasama Operasi, Dalam Hal Pemotong Pajak
adalah Kerjasama Operasi.

- Fotokopi IKTA Karyawan Asing.

c. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770)

Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan adalah:

1. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari
Wajib Pajak itu sendiri berserta rekonsiliasi fiskalnya.

2. Daftar penghitungan penyusutan dan atau amortisasi fiskal.

3. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian
tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.

4. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam
hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk
mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.

5. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan tahunan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari
Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris.

6. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak
menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong
pajaknya oleh pemberi kerja.

7. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing
pihak bagi Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan.

8. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.

9. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah.

10. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan
penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25.

11. Surat Pemberitahuan tahunan harus dilengkapi dan atau dilampiri juga
dengan keterangan dan atau dokumen tertentu lain, yang diperlukan atau
disebutkan dalam Surat Pemberitahuan atau petunjuk pengisiannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menyelenggarakan pencatatan adalah :

1. Jumlah peredaran atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun.

2. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam
hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk
mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.

3. Surat Kuasa Khusus dalam hal Surat Pemberitahuan tahunan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari
Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris.

4. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak
menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong
pajaknya oleh pemberi kerja.

5. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing
pihak bagi Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan.

6. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.

7. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah.

8. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan
penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25

9. Surat Pemberitahuan tahunan harus dilengkapi dan atau dilampiri juga
dengan keterangan dan atau dokumen tertentu lain, yang diperlukan atau
disebutkan dalam Surat Pemberitahuan atau petunjuk pengisiannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

Berdasarkan KEP-141/PJ./2004 tentang SPT tahunan tahun 2004 serta buku
petunjuk pengisiannya, Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang
menjalankan kegiatan Usaha atau pekerjaan bebas ditetapkan sebagai berikut :

1. Lembar Induk SPT (Formulir 1770)

2. Lampiran Induk SPT (Formulir 1770-I, 1770-II, 1770-III, 1770-IV)

3. Lampiran lain yang tertera dalam point L- Lampiran SPT 1770
ditetapkan:

- Surat Kuasa Khusus (bila dikuasakan)

- SSP Lembar ke-3 PPh Pasal 29

- Neraca dan Laporan Laba Rugi Atau Rekapitulasi Bulanan Peredaran
Bruto

- Perhitungan kompensasi kerugia Fiskal

- Fotocopi Formulis 1721-A1 dan atau 1721-A2

- Bukti pemotongan/ pemungutan oleh pihak lain/ditanggung pemerintah
dan yang dibayar/dipotong di Luar Negeri

- Perhitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak Kawin Pisah Harta.

- Perhitungan Angsuran PPh 25 tahun berikutnya

- Daftar Susunan Keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak

- Fotocopi tanda bukti pembayaran Fiskal Luar Negri (FBPFLN)

Berdasarkan KEP-141/PJ./2004 tentang SPT tahunan tahun 2004 serta buku
petunjuk pengisiannya, Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi
yang Tidak melakukan kegiatan usaha dan atau Pekerjaan bebas ditetapkan
sebagai berikut :

1. Lembar Induk SPT (Formulir 1770 S)

2. Lampiran Induk SPT (Formulir 1770 S-I, 1770 S-II)

3. Lampiran lain yang tertera dalam point L, lampiran SPT 1770 S
ditetapkan :

- Fotocopi Formulir 1721-A1 atau A-2

- Daftar Susunan Keluarga yang menjadi Tanggungan Wajib Pajak

- SSP Lembar ke-3 PPh Pasal 29

- Surat Kuasa Khusus (bila dikuasakan)

- Fotocopi Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN)



SPT Tahunan Ditolak atau Diterima Sebagai SPT Tidak Lengkap.


Beberapa hal yang luput dari perhatian wajib pajak dan menyebabkan SPT
Tahunan tahun 2003 ditolak oleh petugas di Kantor Pelayanan Pajak atau
diterima dengan kriteria SPT tidak lengkap antara lain :



1. NPWP Pengurus dan Pemegang Saham tidak diisi (Pengurus dan pemegang
saham belum memiliki NPWP).

2. Tidak melampirkan Rincian Daftar Biaya di SPT 1721 (bagi WP yang
tidak wajib menyampaikan SPT PPh Badan)

3. Tidak melampirkan Photocopi IKTA dalam SPT 1721 (Jika ada tenaga
kerja asing).

4. NPWP Penanda tangan SPT (baik pengurus maupun kuasa) tidak
dicantumkan (Penanda tangan SPT belum memiliki NPWP)

5. Daftar Harta dan Kewajiban tidak diisi / diisi Nihil (untuk SPT
1770)

6. Tidak melampirkan Photocopi IKTA/KITAS untuk SPT 1770-S [khusus
expatriate]

7. Nama dan NPWP Kantor Akuntan Publik serta Akuntan (Partner) yang
menandatangani Audit Report tidak dicantumkan. (Jika laporan Keuangan
diaudit)

8. Nama dan NPWP Konsultan Pajak tidak dicantuman (jika SPT dibuat oleh
konsultan pajak)

9. Tidak melampirkan Surat Kuasa (jika SPT ditandatangai oleh kuasa)



Dokumen dan data-data tersebut merupakan lampiran yang harus dilampirkan
dalam SPT Tahunan tahun 2003 sebagaimana diatur dalam Kep 185/PJ./2003 tgl
19 Juni 2003, SE-02/PJ.42/2003 tgl 14 Februari 2003. Selain Itu dalam
S-979/PJ.313/2004 tgl 21 Oktober 2004 juga telah ditegaskan mengenai
definisi Wajib Pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT PPh Badan.



Selain hal-hal tersebut diatas juga terdapat beberapa dokumen lain yang
“seharusnya” bukan merupakan kategori kelengkapan SPT Tahunan namun
seringkali diminta oleh “Petugas di KPP” sebagai syarat agar SPT dapat
diterima sebagai SPT Lengkap. Dokumen-dokumen lain yang diminta petugas
tersebut antara lain:

1. Surat Pernyataan tidak diaudit bagi WP yang laporan keuangannya
tidak diaudit (untuk SPT 1771).

2. Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa Pengurus dan Pemegang saham
berdomisili di Luar Negeri, sehingga tidak wajib memiliki NPWP bagi WP yang
sebagian pengurus dan pemegang sahamnya WPLN. (SPT 1771)

3. Surat Pernyataan/ Surat Keterangan mengapa SPT Nihil (untuk SPT
Nihil)

4. Certificate of Income (untuk Expatriate tertentu)

Permintaan dokumen tambahan tersebut (point 1-4) menurut penulis “tidak
sejalan” dengan apa yang telah dinyatakan dalam Formulir SPT Tahunan. Hal
ini karena. Dalam SPT Tahunan telah terdapat Pernyataan sebagai berikut :
“Dengan Menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya, termasuk sanksi-sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan
bahwa apa yang telah saya beritahukan diatas beserta lampiran-lampirannya
adalah benar, lengkap dan jelas”.

5. Rincian perhitungan PPh Ditanggung Pemerintah lengkap Setiap bulan
(SPT 1721).

6. Daftar Karyawan yang penghasilannya dibawah PTKP (SPT 1721)

7. Photocopi Bukti Potong PPh 23 (SPT 1771)

8. Form 1721-C (Daftar Gaji Pengurus/pemegang Saham) HARUS diisi.

9. SSP Asli Lembar ke-3, meskipun SSP Asli lembar ke-3 tsb telah
dilampirkan pada saat mengajukan permohonan perpanjangan SPT dan telah
dilampirkan salinannya.

10. Lembar Identitas WP (Pemberitahuan pembetulan Nama dan atau Alamat WP),
meskipun tidak ada perubahan Identitas WP.

11. SSP Nihil.

12. Semua lampiran khusus SPT 1771 (Lampiran khusus 2A, 3A, 4A, 5A, 6A, Dan
lampiran khusus 7A), meskipun diisi Nihil.

13. Nomor Rekening (Bank Account) Pribadi Expatriate (SPT 1770-S Expatriate)

14. Nomor Rekening Rep Office/BUT (SPT 1771 BUT/Rep Office).

Permintaan dokumen lain tersebut tidak seragam di setiap KPP, bahkan dalam
satu KPP bisa berbeda perlakuan antara satu petugas dengan petugas lainnya.
Selain terdengar “aneh”, hal ini tentu juga membingungkan Wajib Pajak.



Penutup

Agar SPT tahunan tahun 2004 tidak ditolak oleh petugas di KPP, sebagai Wajib
Pajak kita harus memahami dan melaksanakan dengan baik ketentuan perpajakan
yang berlaku. Selain mengerti tentang bagaimana mengisi SPT tahunan sesuai
dengan buku petunjuk yang telah disediakan, Wajib pajak juga harus memahami
dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan. Meskipun SPT
tahunan telah diisi dengan lengkap dan benar serta telah dilampiri dengan
dokumen-dokumen yang harus dilampirkan, namun hal ini tidak menutup
kemungkinan adanya “penolakan” oleh petugas di KPP pada saat SPT tahunan
disampaikan. Dalam menyikapi “penolakan” tersebut, beberapa hal yang dapat
dilakukan Wajib Pajak antara lain :

1. Jika dokumen yang diminta tidak menyulitkan Wajib Pajak (missal :
Surat pernyataan Lap keuangan tidak diaudit, surat pernyataan pengurus dan
pemegang saham berdomisili di Luar Negeri, lampiran khusus 2A – 7A, lembar
identitas WP, SSP Nihil dll), tentu akan lebih baik jika Wajib Pajak
melampirkan dokumen tersebut sejak awal.

2. Jika dokumen yang diminta merupakan dokumen yang tidak mungkin
dipenuhi oleh wajib pajak (mis. SSP Asli lembar ke-3 yang telah disampaikan
ke KPP pada saat mengajukan permohonan perpanjangan SPT Tahunan),
komunikasikan dengan baik hal tersebut kepada petugas yang bersangkutan.
Jika hal tersebut belum menyelesaikan masalah, komunikasikan hal ini dengan
AR perusahaan anda, atau dengan atasan petugas tersebut dengan menunjukkan
bukti bahwa SSP asli lembar ke-3 telah diterima oleh KPP.

3. Jika dokumen yang diminta menyulitkan Wajib Pajak (mis. photocopi
bukti potong PPh 23 yang jumlahnya cukup banyak, Daftar karyawan yang
penghasilannya dibawah PTKP, detail perhitungan PPh Ditanggung Pemerintah
dll), Apabila Wajib Pajak bersedia memenuhi permintaan ini, komunikasikan
hal tersebut dengan petugas yang bersangkutan agar WP diberi waktu untuk
memenuhi dokumen yang diminta. Namun apabila Wajib Pajak merasa keberatan
untuk memenuhi permintaan tersebut, sebagai wajib pajak kita berhak untuk
mengetahui dasar hukum atas permintaan dokumen lain tersebut. Tanyakan hal
ini kepada petugas yang bersangkutan. Hal-hal semacam ini mungkin juga
terjadi karena adanya kebijakan intern KPP yang belum (tidak) diketahui
Wajib Pajak.

4. Selain itu, sebaiknya kita menyampaikan SPT Tahunan sebelum hari
terakhir sehingga apabila terdapat dokumen-dokumen lain yang diminta, masih
memiliki waktu untuk melengkapi dokumen tersebut dan SPT Tahunan tidak
terlambat dilaporkan.



Daftar Pustaka
1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-214/PJ./2001 tgl 15 Maret
2001 Tentang Keterangan dan atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan Dalam
Surat Pemberitahuan.

2. Keputusan Dirjen Pajak No KEP-185/PJ./2003 tgl 19 Juni 2003 tentang
Tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan,
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi, Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21, Beserta Petunjuk
Pegisiannya.

3. Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-141/PJ./2004 Tgl 10 September 2004
Tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan,
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi, Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2004 Beserta Petunjuk
Pegisiannya.

4. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-02/PJ.42/2003, tgl 14 Februari
2003 tentang Kewajiban Mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Bagi Pemegang Saham/Pemilik
Modal, Pengurus Dan Komisaris

5. Surat Dirjen Pajak No. S-979/PJ.313/2004 tgl 21 Oktober 2004 tentang
Pemotong Pajak yang Tidak Wajib Memasukkan SPT Tahunan PPh Badan (1771).

Thursday, February 10, 2005

Pemerintah Tunjuk Kontraktor Migas Pungut PPN dan PPn BM

www.depkeu.go.id

Pemerintah Tunjuk Kontraktor Migas Pungut PPN dan PPn BM


Terhitung mulai 1 Pebruari 2005, Pemerintah menunjuk Kontraktor
yang terikat dalam kontrak perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Republik
Indonesia di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi (Kontraktor
Migas) untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPn BM). Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor : 11/PMK.03/2005 dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
bagi Kontraktor Migas dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan oleh Kontraktor Migas kepada Rekanan
atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Besarnya PPN adalah 10% (sepuluh persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak, sementara untuk PPn BM sesuai dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Namun demikian, Kontraktor Migas tidak memungut PPN dan PPn BM
apabila, antara lain : (i) pembayaran jumlahnya paling banyak Rp. 10 juta
dan bukan pembayaran yang terpecah-pecah, (ii) pembayaran/penyerahan BKP/JKP
yang memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN atau dibebaskan dari pengenaan
PPn BM, (iii) pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan bukan
BBM oleh PT. PERTAMINA, (iv) pembayaran atas rekening telepon, dan (v)
pembayaran atas jasa angkutan udara. Untuk PPN dan PPn BM terutang yang
jumlahnya paling banyak Rp. 10 juta dipungut dan disetor oleh Rekanan yang
bersangkutan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Rekanan juga
diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak Standar untuk setiap penyerahan
BKP/JKP kepada Kontraktor.

Kontraktor wajib menyetorkan PPN dan PPN BM yang dipungut paling
lambat pada hari ke - 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah pemungutan
dan wajib melaporkannya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang
bersangkutan paling lambat pada hari ke – 20 (dua puluh) bulan berikutnya
setelah pemungutan.

Sementara itu, atas penyerahan BKP/JKP oleh Rekanan kepada
Kontraktor yang dilakukan hingga 31 Januari 2005, PPN dan PPn BM-nya
dipungut oleh Rekanan. Namun, apabila telah dipungut oleh Kontraktor, maka
Kontraktor tersebut wajib melaporkan dan menyetorkannya paling lambat
tanggal 15 Pebruari 2005.



Kepala Biro







Marwanto Harjowiryono

NIP 060070265

Monday, February 07, 2005

Penentuan laba usaha bentuk usaha tetap (1)

Penentuan laba usaha bentuk usaha tetap (1)

Perusahaan multinasional gencar mempergunakan peluang usaha dengan
melakukan kegiatan usaha di negara lain, dengan mendirikan anak perusahaan
maupun membuka cabang.
Bagi negara tempat investasi, hal ini merupakan peluang menambah penerimaan
negara dari pajak. Pendekatan yang ditempuh adalah dari segi yuridis fiskal,
dengan memberi definisi "bentuk usaha tetap" (BUT) dalam undang-undang
perpajakan dan memberi batasan atas laba usaha dari BUT yang akan dipungut
pajak.

Begitu juga di Indonesia, yang sejak reformasi perpajakan 1983 menjadi topik
menarik.

Sejalan dengan hal itu, OECD sejak awal 1960-an telah mengembangkan model
persetujuan penghindaran pajak berganda, yang senantiasa diubah sesuai
perkembangan.

Masalah yang menjadi topik pembahasan adalah penentuan laba usaha dari BUT,
sebagaimana diatur pasal 7 OECD Model, yang menurut literatur perpajakan
internasional disebut "attribution principle".

Pengertian "laba usaha" harus diberi arti yang luas, karena laba usaha dari
BUT tersebut juga meliputi keuntungan dari pengalihan harta dan penghasilan
penggunaan harta.

Pembahasan topik difokuskan kepada penghasilan yang diperoleh BUT dari luar
negara, dimana BUT berada. Sejalan dengan pengertian laba usaha yang
dimaksud harus diberi arti luas, pembahasan juga akan menyinggung masalah
penggunaan aktiva yang boleh disusutkan suatu BUT, dalam kaitannya dengan
dasar penyusutan.

Dasar pembahasannya adalah OECD Model dan Undang-undang Pajak Penghasilan.
Seperti diketahui pada 2001, OECD telah membentuk kelompok kerja untuk
membahas masalah ini. Tulisan ini mempergunakan laporan OECD sebagai bahan
pembahasan.

Penentuan laba usaha dari BUT dalam OECD Model diatur di Article 7, yang
rumusannya seperti berikut:

"Article 7

Business Profits

1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only
in that State unless the enterprise carries on business in the other
Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the
enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise
may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable
to that permanent establishment.

2. Subject to provisions of paragraph 3, where an enterprise of a
Contracting State carries on business in the other Contracting State through
a permanent establishment situated therein, there shall in each Contracting
State be attributed to that permanent establishment the profits which it
might be expected to make if it were a distinct and separate enterprise
engaged in the same or similar activities under the same or similar
conditions and dealing wholly independently with the enterprise of which it
is a permanent.

3. In determining the profits of a permanent establishment, there shall be
allowed as deductions expenses which are incurred for the purposes of the
permanent establishment, including executive and general administrative
expenses so incurred, whether in the State in which the permanent
establishment is situated or elsewhere."

Rumusan tersebut mengandung beberapa masalah pokok, yaitu istilah profits of
an enterprise (laba usaha dari suatu perusahaan), permanent establishment
(BUT), dan attributable.

Definisi dari BUT diatur pada Article 5 dari OECD Model, yang rumusannya
sebagai berikut:

"Article 5 - Permanent Establishment

1. For the purposes of this Convention, the term "permanent establishment"
means a fixed place of business through which the business of enterprise is
wholly or partly carried on."

Definisi tersebut memberi indikasi, walaupun tidak terlalu jelas, bahwa laba
usaha dari suatu BUT di suatu negara adalah yang diperoleh dari kegiatannya
di negara tersebut.

Masalah pokok berkaitan dengan penentuan laba usaha dari BUT terletak dalam
pengertian attributable yang berkaitan erat dengan profits of an enterprise.
Sayangnya, OECD Commentary tidak memberikan penjelasan lebih lanjut atas apa
yang dimaksud dengan "profits of an enterprise" itu.

Rumusan itu hanya mengatur laba usaha tidak dapat dikenai pajak di negara
sumber kecuali kegiatannya dilakukan melalui suatu BUT. Kata "attributable"
dalam OECD Model mencegah prinsip "force of attraction" sebagaimana diatur
dalam United Nations Model (UN Model).

Jadi profit merupakan kata kunci untuk membatasi hak pemajakan negara di
mana BUT berada. Masalahnya, bagaimanakah kata profit diberi interpretasi.
OECD pada 2001 memberikan dua pendekatan untuk menginterpretasikannya.

Pendekatan pertama adalah "relevant business activity". Laba usaha yang
"attributable" kepada BUT adalah laba usaha dari kegiatan di mana BUT
tersebut berpartisipasi.

Ini membatasi laba usaha BUT sesuai Article 7(1) dan (2) yaitu laba usaha
BUT tidak akan melebihi laba usaha perusahaan tersebut secara keseluruhan.

Ini juga berarti pendekatan masalah berdasarkan "relevant business
activity", laba usaha dari perusahaan tidak dapat dianggap laba usaha dari
BUT kecuali yang berasal dari yurisdiksi negara di mana BUT berada.

Beberapa negara menerapkan pembatasan laba usaha suatu BUT dengan merujuk
laba bersih dari semua cabang perusahaan atau sebagai alternatif lain dengan
menggunakan "laba bruto".

Tetapi, pendekatan ini tidak secara tegas menyebutkan laba usaha BUT hanya
terbatas kepada penghasilan dari kegiatan dalam teritori di mana BUT berada.

Pendekatan kedua adalah "functionally separate entity". Pada dasarnya
pendekatan ini tidak membatasi laba usaha BUT dengan melihat secara
keseluruhan atau kepada transaksi atau kegiatan usaha tertentu di mana BUT
berpartisipasi.

Pendekatan ini mencegah diterapkannya "force of attraction", karena hak
pemajakan dari negara sumber hanya dibatasi kepada laba usaha sebagai hasil
kegiatan BUT itu. Jadi jika ada kegiatan yang dilakukan kantor pusatnya yang
tidak menimbulkan dampak pada BUT tidak dianggap sebagai laba usaha BUT
tersebut.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult